
Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sardjono, menilai bahwa industri sawit sangat terdampak perang dagang Presiden AS, Donald Trump. Diketahui, Trump mengenakan tarif impor 32 persen untuk Indonesia.
“Memang kalau dengan penerapan 32 persen, itu akan berpengaruh. Kalau kita mau meningkatkan atau mempertahankan ekspor, berarti beban ekspor kita harus dikurangi,” ujar Mukti di Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025).
Pelaku industri di Indonesia terbebani oleh tiga pungutan ekspor yakni domestic market obligation (DMO), pengendalian ekspor (PE), dan beban kurang (BK). Beban ekspor totalnya mencapai 221 dollar AS per metrik ton, lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya 140 dollar AS per ton.
“Jadi kalau ini bisa, beban itu bisa dikurangi, apakah BK-nya dikurangi. Mungkin itu menjadi alat kita bisa lebih efisien atau punya daya saingnya lebih baik,” tutur Mukti.
Di Asia, Indonesia dan Malaysia menjadi pengespor sawit tertinggi. Mukti menyebutkan, ekspor sawit ke AS mencapai sekitar 2,5 juta ton dalam lima tahun terakhir.
Nilai ekspor tersebut diperkirakan mencapai 2,9 miliar dollar AS dengan pangsa pasar Indonesia di AS mencapai 89 persen.
“Karena memang mereka butuh sawit. Sawit itu mereka gunakan untuk berbagai keperluan, termasuk terutama hal-hal untuk kepentingan industri makanan,” ucap dia.
Mukti tak memungkiri, saat ini pengusaha juga mulai melirik Afrika untuk mengespor produk sawit mereka. Selain itu, negara Tinur Tengah juga berpotensi membeli minyak sawit dalam negeri.
“(Saat ini) kami nunggulah (keputusan pemerintah). Tetapi sepertinya akan ada pengurangan beban ekspor. Mudah-mudahan itu benar terjadi,” ucap Mukti.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, RI mengekspor CPO atau crude palm oil dan produk turunannya ke AS sebanyak 736.500 ton di 2015.
Pada 2024, volume ekspor melonjak menjadi 1,39 juta ton. Volume ekspor tertinggi terjadi pada 2023, yakni mencapai 1,98 juta ton.
Lalu pada 2024, AS menempati peringkat ke-4 sebagai negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia. AS berada di bawah India, Pakistan, dan China.