
perubahan iklim dapat secara signifikan memengaruhi kadar arsenik dalam padi, makanan pokok bagi jutaan orang di seluruh Asia.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan suhu di atas 2 derajat C, ditambah dengan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) dapat menyebabkan konsentrasi arsenik anorganik (iAs) yang lebih tinggi dalam beras.
Hal tersebut berpotensi meningkatkan risiko kesehatan seumur hidup bagi populasi di Asia pada tahun 2050.
Penelitian yang dilakukan bersama dengan rekan-rekan di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health dan Akademi Ilmu Pengetahuan China ini merupakan studi pertama yang secara mendalam meneliti efek gabungan dari peningkatan kadar CO2 dan suhu akibat perubahan iklim terhadap penumpukan arsenik dalam beras.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa peningkatan kadar arsenik ini dapat secara signifikan meningkatkan kejadian penyakit jantung, diabetes, dan efek kesehatan nonkanker lainnya,” kata Lewis Ziska, Ph.D., profesor madya Mailman School of Public Health, dikutip dari Phys, Kamis (17/4/2025).
“Karena beras merupakan makanan pokok di banyak bagian dunia, perubahan ini dapat menyebabkan peningkatan signifikan dalam beban global kanker, penyakit kardiovaskular, dan masalah kesehatan terkait arsenik lainnya,” tambahnya.
Ziska menjelaskan bahwa kadar arsenik yang lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh perubahan kimia tanah terkait iklim yang mendukung arsenik lebih mudah diserap ke dalam bulir padi.
“Dari perspektif kesehatan, efek toksikologi paparan iAs kronis sudah diketahui dengan baik, dan mencakup kanker paru-paru, kandung kemih, dan kulit, serta penyakit jantung iskemik. Bukti yang muncul juga menunjukkan bahwa paparan arsenik dapat dikaitkan dengan diabetes, hasil kehamilan yang buruk, masalah perkembangan saraf, dan efek sistem kekebalan tubuh,” jelasnya lagi.
Dalam studinya, peneliti mengukur dampak kenaikan suhu dan CO2 pada 28 galur padi selama 10 tahun di lapangan.
Mereka menggunakan metodologi FACE ( Pengayaan CO2 Udara Bebas) dan menggabungkan teknik pemodelan tingkat lanjut.
Selanjutnya, tim memperkirakan dosis arsenik anorganik dan risiko kesehatan untuk tujuh negara Asia yakni Bangladesh, China, India, Indonesia, Myanmar, Filipina, dan Vietnam.
Perkiraan ketersediaan beras pada tahun 2021 menurut negara kemudian digunakan sebagai titik awal untuk memperkirakan konsumsi beras.
Sementara standar deviasi konsumsi beras per kilogram berat badan dari data Badan Perlindungan Lingkungan AS (U.S. Environmental Protection Agency) digunakan untuk membuat distribusi normal untuk setiap negara.
Proyeksi penelitian pada tahun 2050 menunjukkan peningkatan tajam dalam kasus kanker seumur hidup, khususnya kanker paru-paru dan kandung kemih.
China diproyeksikan akan mengalami jumlah kasus tertinggi, dengan perkiraan 13,4 juta kanker terkait dengan paparan arsenik berbasis beras.
“Berdasarkan temuan kami, kami yakin ada beberapa tindakan yang dapat membantu mengurangi paparan arsenik di masa mendatang,” kata Ziska.
Ini termasuk upaya pemuliaan tanaman untuk meminimalkan penyerapan arsenik, pengelolaan tanah yang lebih baik di sawah, dan praktik pengolahan yang lebih baik.
Langkah-langkah tersebut, bersama dengan inisiatif kesehatan masyarakat yang difokuskan pada edukasi konsumen dan pemantauan paparan, dapat memainkan peran penting dalam mengurangi dampak kesehatan dari perubahan iklim terhadap konsumsi beras.
“Studi kami menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk mengambil tindakan guna mengurangi paparan arsenik pada beras, terutama karena perubahan iklim terus memengaruhi ketahanan pangan global,” tambah Ziska.